Jumat, 15 Oktober 2010

Penerapan Parliamentary Threshold pada Pemilu Legislatif di Indonesia dalam Kaca Mata Hukum Tata Negara


 
Penerapan Parliamentary Threshold pada Pemilu Legislatif di Indonesia dalam 
Kaca Mata Hukum Tata Negara
 Oleh:
Agung Sudrajat           NPM 0806461096
Endah Dewi P.            NPM 0806341942
Fadillah Isnan             NPM 0806341993
Liza Farihah                NPM 0806342554
Wahyu D. Setiawan    NPM 0806343411


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ada yang berbeda dengan pemilihan umum legislatif pada tahun 2009 selain cara pemilihannya yang berubah dari pencoblosan menjadi penyontrengan yaitu penetapan perolehan suara pada pemilihan umum anggota DPR RI. Untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, partai politik harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5 % dari jumlah suara sah secara nasional. Penetapan perolehan suara ini menggunakan konsep ambang batas minimal yang juga dikenal dengan Parliamentary Threshold. Parliamentary Threshold merupakan salah satu pola penyederhanaan partai politik melalui peraturan perundang-undangan. Parliamentary Threshold diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus. Kemudian, Pasal 202 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa konsep parliamentary threshold tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Sebagai suatu konsep yang baru dalam pemilihan umum anggota DPR, parliamentary threshold menuai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menyatakan bahwa konsep ini merupakan konsep yang bagus untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai di Indonesia yang dianggap tidak cocok bila disandingkan bersama. Scott Mainwaring yang melakukan studi perbandingan politik negara-negara berkembang tentang hubungan presidensialisme, multipartai dan demokrasi pada tahun 1993 juga menyatakan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai[1]. Kombinasi kedua sistem ini mengakibatkan sulitnya membangun koalisi antarpartai politik dan hal ini tentu saja dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan pihak yang kontra melihat aturan parliamentary threshold  tidak adil bagi partai politik baru dan hanya menguntungkan partai politik besar. Hal ini bisa dilihat menjelang pemilihan umum tahun 2009 dimana koalisi 10 partai politik peserta pemilu mengajukan uji materi Pasal 202 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi[2].
Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, Partai Golkar mengusulkan kenaikan parliamentary threshold menjadi 5 % karena 5 % dianggap cukup ideal untuk sistem kepartaian di Indonesia dan baik untuk penyederhanaan partai politik[3]. Usulan Partai Golkar pun menciptakan respon yang berbeda dari berbagai partai politik yang ada di Indonesia. Ada partai yang menyetujui usulan ini dengan alasan yang sama dan ada partai yang menolak usulan ini karena dikhawatirkan kenaikan perliamentaryu threshold  akan menyebabkan semakin banyak suara yang akan hilang dalam pemilu dan menurut partai politik lain, penyederhanaan partai politik tidak harus dengan cara kenaikan parliamentary threshold. Melihat konsep parliamentary threshold parliamentary threshold yang baru diberlakukan di Indonesia dan pro kontra dari konsep ini, penulis tertarik untuk membuat makalah tentang “Penerapan Parliamentary Threshold Pada Pemilihan Umum Anggota DPR RI Dalam Perspektif  Hukum Tata Negara”.

B.  Rumusan Masalah
1.   Bagaimana konsepsi dasar pembentukan sistem Parliamentary Threshold pada sebuah negara demokratis?
2.   Bagaimana penerapan Parliamentary Threshold dalam pemilihan umum anggota DPR RI?
3.   Apakah penerapan Parliamentary Threshold melanggar hak asasi warga negara untuk berorganisasi dan membentuk partai politik?

C. Tujuan Penulisan
1.   Mengetahui konsepsi dasar pembentukan sistem Parliamentary Threshold pada sebuah negara demokratis?
2.   Mengetahui penerapan Parliamentary Threshold dalam pemilihan umum anggota DPR RI dan di negara lain?
3.   Apakah penerapan Parliamentary Threshold melanggar hak asasi warga negara untuk memilih wakilnya di parlemen?

D.  Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi kepustakaan. Penulis melakukan studi melalui buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan parliamentary threshold di Indonesia.

E.  Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
         HALAMAN JUDUL
         ABSTRAK
         KATA PENGANTAR
         DAFTAR ISI
         BAB I PENDAHULUAN
Bab ini  terdiri atas lima subbab bahasan yakni, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
         BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini terdiri atas tiga subbab bahasan yakni, pemilihan umum legislatif, partai politik peserta pemilu legislatif, dan konsepsi dasar pembentukan parliamentary threshold dari sudut pandang hukum tata negara.
         BAB III PARLIAMENTARY THRESHOLD DAN PENERAPANNYA DIBERBAGAI NEGARA
Bab ini terdiri atas tiga subbab bahasan yakni, penerapan parliamentary threshold di Israel, penerapan parliamentary threshold di Jerman, dan penerapan parliamentary threshold di Turki.
         BAB IV PARLIAMENTARY THRESHOLD DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Bab ini terdiri atas empat subbab yakni, sistem presidensial dan multipartai di Indonesia, parliamentary threshold dan pengaturannya dalam UU No. 10 Tahun 2008, dampak parliamentary threshold dalam pemilu legislatif, kelebihan dan kekurangan penerapan parlementary threshold di Indonesia.
         BAB V PENUTUP
Bab ini terdiri atas dua subbab yakni, kesimpulan dan saran.
         DAFTAR PUSTAKA

BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Pemilihan Umum Legislatif
Salah satu pilar demokrasi adalah dengan adanya mekanisme penyaluran pendapat rakyat secara berkala melalui pemilihan umum yang diselenggarakan jangka waktu tertentu.[4] Guna menjamin siklus pemerintahan oleh penguasa secara teratur, pemilihan umum dilaksanakan secara berkala. Pelaksanaan pemilu yang secara berkala ini menghindarkan pemusatan kekuasaan pada suatu rezim sehingga menghilangkan potensi otoritarian yang jauh dari kata demokrasi. Pemilu yang diharapkan dari sebuah pelaksanaan demokrasi bukanlah pemilu secara hitam di atas putih, melainkan pemilu yang dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pemilu harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.[5]
Tujuan penyelenggaraan pemilu pada pokoknya dapat dirumuskan menjadi empat, yaitu[6]:
1.      Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintah secara tertib dan damai.
2.      Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan
3.      Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dan
4.      Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara
Kemudian secara lebih spesifik, Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.[7] Undang-undang ini mengatur secara lebih spesifik tentang tujuan dari penyelanggaraan pemilu. Penyelenggaraan pemilu dimaksudkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bertolak kepada tata pelaksanaan pemilu di beberapa negara, cara yang digunakan dalam menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam keanggotaan lembaga perwakilan rakyat dapat berbeda-beda di setiap negara. Menurut Muhammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, sistem pemilihan umum dapat dibedakan antara sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis.[8] Sistem pemilihan umum mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanika dengan melihat rakyat sebagai individu-individu yang sama. Individu dalam sistem pemilihan umum pemilihan umum berproposi sebagai penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan memandang rakyat sebagai individu-individu yang masing-masing memiliki suara dalam setiap pemilihan, yaitu suara dirinya masing-masing secara sendiri-sendiri atau dikenal sebagai asas one vote one person.
Dalam sistem mekanis, partai-partai politik yang mengorganisasikan pemilih dan memimpim pemilih berdasarkan sistem biparty atau multy-party. Setiap negara di dunia memiliki perbedaan dan dan keleluasaan untuk menerapkan sistem bipartai maupun multi-partai. Akan tetapi, terlepas dari keleluasaan untuk memilih sistem kepartaian, pelaksanaan dari sistem pemilihan mekanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan:[9]
1.      Sistem Single Member Constituencies atau disebut sistem distrik.
Pada sistem ini, wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang dikehendaki. Sistem ini juga dinamakan sistem mayoritas. Orang-orang yang akan dipilih sebagai wakil rakyat suatu distrik atau daerah pemilihan ditentukan oleh siapa yang memiliki suara terbanyak atau suara mayoritas, meskipun hanya mayoritas yang relatif atau sederhana. Misalnya dalam distrik dengan jumlah 100.000 ada dua calon yakni A dan B. calon A memperoleh 55.000 dan B memperoleh 45.000, maka calon A yang memperoleh kemenangangan, sedangkan jumlah suara 55.000 dari calon B dianggap hilang.
Sistem Single Member Constituencies ini dianggap memiliki kekurangan karena kurang memperhitungkan partai-partai kecil dan golongan minoritas, juga kurang representatif karena calon yang kalah akan kehilangan suara-suara yang mendukungnya.[10] Hal seperti ini berarti sejumlah besar suara tidak akan diperhitungkan sama sekali dan ini tidak adil bagi sebagian golongan yang dirugikan. Sistem ini juga memiliki beberapa sisi positif yang oleh beberapa Negara yang menganut sistem ini dapat lebih menguntungkan daripada sistem pemilihan lainnya, yakni:
a.       Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dikenal oleh rakyat sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat dan dipastikan akan memperjuangkan kepentingan distriknya karena dengan sistem ini personalitas dan kepribadian si wakil lebih dipentingkan ketimbang faktor kepartaian.
b.      Sistem ini mendorong intergrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Mendorong parati-partai menyisihkan perbidaan yang ada dan mengutamakan kerjasama, serta mendorong penyederhanaan partai tanpa paksaan.
c.       Berkurangnya jumlah partai dapat mendorong pembentukan pemerintahan yang lebih stabil dan meningkatkan stabilitas nasional.
d.      Sistem yang sederhana dan mudah dilaksanakan.

2.      Sistem Perwakilan Berimbang (Sistem Proporsional).
Sistem ini disebut juga sebagai sistem Multi-Member Constituencies[11], yaitu sistem dimana presentase kursi di Lembaga Perwakilan rakyat yang dibagikan kepada setiap partai politik, disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh setiap partai politik itu. Misalnya, jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum adalah 10 juta orang, dan jumlah kursi di badan perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi berarti untuk satu wakil rakyat dibutuhkan suara 100.000. pembagian kursi di lembaga perwakilan rakyat tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum itu. Sistem proporsional ini dapat dilaksanakan dalam ratusan variasi tetapi dua metode yang dianggap utama, yaitu[12]:
a.       Single Transferable Vote (Hare Sistem).
Pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera setelah jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan jika ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya dan seterusnya. Misalkan, jumlah suara yang dibutuhkan agar dapat terpilih sebagai wakil rakyat di LPR adalah 10.000 suara. Calon-clon dari partai X mendapat suara sebagai berikut: A untuk daerah I mendapat 19.000 suara, B untuk daerah II mendapat 9.000 suara, C untuk daerah III mendapat 7000 suara, dan D untuk daerah IV mendapat 5000 suara. Jika berdasarkan kepada imbangan suara 10.000, maka dari partai X yang terpilih hanya calon A dari daerah I, sedangkan calon-calon lain tidak memenuhi jumlah suara.
Namun, jika yang dipraktikan adalah Hire System, maka kelebihan suara dari A sebanyak 9000 suara dapat dipindahkan ke calon B sehingga ia dapat terpilih, kemudian kelebihan suara yang dimilikinya akibat penambahan dari A sebanyak 8000suara dpata dipendahkan ke calon C sehingga jumlah suaranya mencukupi untuk terpilih. Kelebihan suara sebanyak 5000 yang kini dimiliki C dapat pula diberikan kepada calon D sehingga ia juga dapat terpilih sebab jumlah suaranya genap menjadi 10.000 suara.
Adanya penggabungan suara sebagaimana disebutkan sebelumnya, secara alamiah dapat mendorong penyederhanaan partai politik.[13] Hal tersebut dikarenakan partai politik yang mendapat dukungan suara kurang dari persyaratan disuatu daerah, tidak mendapat jatah kursi di lembaga perwakilan rakyat. Salah satu akibat lainnya adalah wakil-wakil rakyat yang terpilih cenderung berorientasi nasional. Akibat logis dari penerapan sistem ini adalah perhitungan suara yang menjadi berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan yang lebih tinggi dalam perhitungan suara.
b.      List Sistem.
Sistem daftar ini adalah dimana pemilih diminta memilih dari daftar yang tersedia yang berisi nama-nama calon wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Rakyat cukup memilih satu calon dari daftar itu dan calon yang mendapatkan suara terbanyak dialah yang dinyatakan terpilih. Terkadang sistem ini digabung dengan sistem proporsional.
Pemilih memilih tanda gambar partai politik dan atau memilih calon yang terdapat dalam daftar calon. Dalam praktiknya pemilih hanya dimungkinkan untuk memilih tanda gambar Parpol atau memilih calon saja. Dari alternative ini akan lahir 2 kemungkinan terpilihnya seorang calon wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat; pertama jika yang harus dipilih adalah tanda gambar partai politik, maka pemilih belom mengenal calon yang dipilihnya dan lebih percaya terhadap partai yang dipilihnya karena partai itu cukup dikenalnya, kedua jika yang dipilih adalah nama calon berarti pemilih mengetahui calon wakil rakyat yang dipilihnya dan dengan otomatis partai politik yang mendukung calon itu juga dipilihnya.      
Kedua sistem pemilu yang diuraikan diatas, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional sama-sama dianut dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pemilihan anggota DPD pada pokoknya adalah menggunakan sitem distrik, yaitu setiap provinsi dipilih empat orang anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Walaupun menggunakan sistem distrik namun sistem ini dianut dengan variasi stelsel daftar atau list-system. Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD sistem yang dianut adalah sistem proporsional dengan variasi list system yang terbuka secara terbatas. Pemilih memilih tanda gambar partai politik namun para pemilih juga dapat langsung memilih calon anggota DPR/DPRD secara langsung dengan memilih daftar nama atau foto calon yang bersangkutan.
                                   
B.     Partai Politik Peserta Pemilu Legislatif
Pengaturan mengenai peserta pemilu legislatif telah diatur di dalam konstitusi dan juga pada peraturan berupa undang-undang. Pengaturan di dalam konstuitusi tercantum dalam pasal 22E ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Ketentuan lain yang mengatur adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Menurut ketentuan pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.10 tahun 2008, partai politik yang dapat menjadi peserta pemilu apabila telah memenuhi syarat-syarat:
1.      Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
2.      Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
3.      Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
4.      Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan  perempuan pada  kepengurusan partai politik tingkat pusat;
5.      Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politiksebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
6.      Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c;
7.      Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Persyaratan mengenai pemilihan umum tidak hanya pada pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 melainkan terdapat beberapa ketentuan lain, terutama untuk dapat mengikuti pelaksanaan pemilu berikutnya. Syarat mengenai ketentuan peserta pemilu oleh partai politik tidak hanya secara formal saja tetapi juga secara materi dari partai politik itu sendiri. Suatu partai politik harus memenuhi syarat-syarat berikut ini agar dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya yang antara lain[14]:
1.      Memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR.
2.      Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia.
3.      Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang terserbar di ½ jumlah kabupaten kota di seluruh Indonesia.
Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan diatas hanya dapat mengikuti pemilu berikutnya apabila[15]:
1.      Bergabung dengan partai politik yang memenuhi ketentuan.
2.      Bergabung dengan parati politik yang tidak memenuhi ketentuan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi minimal jumlah kursi, atau,
3.      Bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan diatas dengan membantuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memperoleh jumlah minimal kursi.
Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta pemilu perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan sebagai berikut[16]:
1.      Provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih;
2.      Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih;
3.      Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih;
4.      Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih; dan
5.      Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.

C.  Konsepsi Dasar Pembentukan Parliamentary Threshold dari Sudut Pandang Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Wacana penyederhanaan partai politik semakin mengemuka terutama ketika membahas Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Secara teoritis, dalam sistem Presidensiil yang dianut oleh Indonesia, lebih cocok disandingkan dengan sistem multi-partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan Indonesia selama ini lebih cocok untuk digunakan dalam sistem parlementer. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk membatasi jumlah partai yang politik yang duduk di parlemen, antara lain melalui Electoral Threshold atau melalui Parliamentary Threshold seperti yang dianut oleh Jerman.[17]
Electoral Threshold merupakan ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya. Sesuai pasal 8 UU No. 10 tahun 2008, pada pemilu 2009 nanti, telah disepakati bahwa persyaratan partai politik untuk menjadi peserta pemilu adalah:
1.      Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
2.      Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
3.      Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
4.      Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
Hal ini menunjukkan, bahwa telah diberlakukan ketentuan mengenai pembatasan yang diperketat bertahap, telah diterapkan pada setiap pemilu, merupakan rangkaian yang mencerminkan proses seleksi alamiah bagi partai politik, untuk melakukan introspeksi diri untuk dapat tetap eksis sebagai peserta pemilu. Bagi partai politik yang tidak lolos seleksi, masih diberikan kemungkinan untuk menjadi peserta pemilu melalui cara bergabung dengan partai politik lain sehingga memenuhi persyaratan minimal tershold, atau bergabung dan membuat nama serta tanda gambar baru. Selain itu, dapat juga dengan cara mendirikan partai politik baru, sepanjang memenuhi persyaratan pendirian partai politik, dan memiliki pengurus lengkap di sejumlah provinsi, kabupaten/kota dan jumlah anggota sesuai persyaratan undang-undang, maka sah menjadi peserta pemilu.
Berbagai kritikan kemudian muncul karena timbulnya anggapan bahwa cara pembatasan dengan mendirikan partai politik baru, tidaklah efektif karena dapat mengatasi persyaratan treshold. Walaupun partai politik tersebut tidak lolos electoral treshold, dengan cara merubah nama dan tanda gambar partai, apabila memenuhi persyaratan jumlah pengurus maka partai politik tersebut dapat menjadi peserta pemilu berikutnya[18].
Sementara itu, terdapat cara lain yang dapat digunakan untuk membatasi jumlah Partai politik adalah melalui parliamentary threshold. Parliamentary Threshold adalah ketentuan ambang batas minimal yang harus dipenuhi partai politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam pasal 202 ayat 1 UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu legislative adalah sebesar 2,5 persen dari total jumlah suara sah dalam pemilu. Dengan ketentuan ini, parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tidak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Akibatnya suara sah yang telah diperoleh Parpol tersebut menjadi hangus. Kelemahan ini akan sangat merugikan bagi calon legislative dan konstituen yang diwakilinya. Akan tetapi Besaran PT sebesar 2,5 persen boleh dikatakan tergolong "moderat" apabila dibandingkan dengan negara-negara demokrasi lainnya. Studi Powell (2000), misalnya, menunjukkan di beberapa negara yang mengadopsi sistem pemilu proporsional besaran threshold cukup beragam. Misalnya, Belanda (0,7 persen), Denmark (1,6 persen), Italia (2 persen), Austria (2,6 persen), Yunani (3,3 persen), Norwegia (4 persen), Swedia (4 persen), Belgia (4,8 persen), Jerman (5 persen), dan Finlandia (5,4 persen).
Dalam pemilu 2009 kemarin terjadi suatu ironi yang dipandang  sangat tidak adil bagi sejumlah partai-partai kecil, dimana ketentuan pasal 316 huruf d tentang ketentuan electoral threshold dalam UU No. 12 tahun 2003 dan pasal 315 UU No. 10 tahun 2008 yang mengatur parliamentary threshold, dianulir dengan ketentuan bahwa bagi parpol yang peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold sebagaimana diatur dalam pasal 315 UU No. 10 tahun 2008, tetap dapat mengikuti pemilu 2009 apabila memiliki kursi di DPR. Akibatnya sejumlah partai yang pada periode 2004-2009 telah memiliki wakil di DPR mendapatkan free pass untuk langsung menjadi kontestan dalam pemilu 2009 tanpa harus melalui seleksi electoral threshold, karena mereka telah memenuhi parliamentary threshold pada pemilu 2004.
Dalam putusan Pengujian terhadap UU No. 10 tahun 2008, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kebijakan parliamentary threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VII/2009 yang dibacakan pada tanggal 13 februari 2009. Mahkamah konstitusi berpendapat[19] lembaga legislative dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik berbentuk electoral threshold maupun parliamentary threshold (PT). Ketentuan mengenai adanya PT  seperti yang diatur dalam pasal 202  ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga Negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR.[20] Melalui  Parliamentary threshold ditetapkan ambang batas bagi parpol untuk mengirimkan wakilnya di DPR, jadi yang menjadi focus utamanya adalah mengurangi jumlah parpol di parlemen, bukan di pemilu, dan tujuan utamanya adalah mencapai efektivitas sistem presidensiil dan menjaga agar situasi politik tetap dinamis dan progresif. Penelitian menunjukkan sistem presidensial akan lebih efektif dengan sistem multipartai sederhana daripada multipartai fragmentatif (Lijphart, 1992).
Untuk Pemilu 2014 dan seterusnya, cara pembatasan yang ideal sebaiknya dilakukan dengan cara:
1.      Memperketat persyaratan kepengurusan partai politik. Misalnya, sebuah parpol disyaratan memiliki kepengurusan di tiga perempat jumlah provinsi dan di tigaperempat jumlah kabupaten/kota.
2.      Untuk menjadi peserta pemilu 2014, melalui persyaratan elektoral threshold yang terus diperketat. Misalnya untuk pemilu 2014, persyaratan lolos treshold apabila dalam pemilu 2009 memperoleh sekurang-kurangnya 5% jumlah kursi DPR, atau 6% jumlah kursi DPRD Provinsi, atau 6% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota[21].
3.      Untuk berhak menempatkan Anggota legislatifnya di DPR, melalui persyaratan parlementary treshold, Misalnya, untuk pemilu 2014, persyaratan partai politik yang lolos treshold untuk dapat menempatkan anggota legislatifnya di parlemen harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% dari jumlah kursi di DPR, atau 27 kursi. Apabila partai politik tersebut tidak memperoleh jumlah kursi tersebut, maka tidak berhak menempatkan anggota legislatifnya, berarti kursi partai politik tersebut harus diserahkan kepada partai politik lain yang berhak yang berikutnya di daerah pemilihan yang bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan partai politik tersebut di parlemen selama 5 (lima) tahun absen.
Pembatasan partai politik nampaknya merupakan jawaban yang tepat untuk meningkatkan kinerja parpol. Filosofis idealnya adalah dengan pembatasan parpol, maka visi, misi, dan program yang diusung parpol akan semakin jelas, transparan, dan dapat diterjemahkan secara nyata sehingga bermanfaat bagi rakyat. Selain itu, dengan jumlah partai terbatas, idealnya 5-7 parpol, rakyat akan lebih mudah mengenal parpol, sehingga rakyat tak dibuat bingung saat menentukan pilihannya. Hal lain terkait dengan penyederhanaan parpol adalah melalui ujian mengikuti pemilu. Artinya, jika dalam pemilu suatu parpol mendapatkan suara yang signifikan (sesuai dengan aturan UU Pemilu), maka parpol tersebut memang layak untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum.


BAB III
PARLIAMENTARY THRESHOLD DAN PENERAPANNYA DIBERBAGAI NEGARA

A.    Parliamentary Threshold di Israel
Batas parliamentary threshold di masing-masing negara umumnya dipengaruhi oleh keberadaan kultural dan historis negara tersebut berdiri. Tidak ada besaran resmi bagi suatu negara mengenai penerapan parliamentary threshold. Beberapa referensi mengenai parliamentary threshold dibeberapa negara menunjukkan variable yang berbeda. Negara-negara di dunia yang menerapkan parliamentary threshold, tidak ada batas mutlak bagi setiap negara. Batas mutlak ini tidak membubuhkan adanya suatu keharusan bagi setiap negara untuk menerapkannya. Hal yang lazim ada adalah terdapat pengecualian dari mekanisme parliamentary threshold.[22]
Israel yang merupakan salah satu negara demokrasi di Timur Tengah memiliki perjalanan cukup panjang mengenai penetapan batas parliamentary threshold. Negara dengan nama resmi Medinat Yisra’el ini memiliki batas resmi 2% bagi setiap partai yang hendak mengirimkan wakilnya untuk duduk di kursi parlemen[23]. Pembatasan angka ini disesuaikan dengan sejarah dan konstitusi suatu negara baik secara langsung maupun dikaitkan secara perlahan sejalan dengan kebutuhan. Secara resmi, Israel menggunakan batas minimum 2% ketika ada reformasi Peraturan Dasar (Basic Law) pada tahun 1996 oleh Knesset[24] bersamaan dengan pengesahan pemilihan umum secara langsung.
Knesset Israel yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara memiliki legitimasi terkuat terlebih setelah pemilihan umum dilaksanakan secara langsung semenjak tahun 1996. Perubahan pada tahun 1996 tidak hanya merubah mengenai sistem umum pemilu dari lpemilu tidak langsung menjadi langsung, tetapi berkenaan pula mengenai kepartaian. Masalah kepartaian yang diatur dalam perubahan tahun 1996 antara lain menyangkut kewenangan partai dengan pandangan keagamaan dapat mengikuti pemilu Israel dan parliamentary threshold sebesar 2%. Pemilihan anggota parlemen yang dilakukan selama empat tahun sekali dan semenjak tahun 1948 baru tahun 1996 Israel membuka jalur politik yang memiliki sudut pandang keagamaan dan keberlakuan dari batasan legislatif.
Parliamentary threshold di Israel yang menganut multipartai secara filosofis dikarenakan adanya gelombang demokrasi yang sangat cepat berubah. Hal ini menjadi alasan utama adanya perubahan yang ada salah satunya untuk menstabilkan kekuatan politik di Israel. Pemerintahan dengan rezim yang jatuh bangun membuat ketidaksatabilan pemerintahan sebagaimana dilansir semakin banyak partai duduk di parlemen akan semakin meratakan persebaran suara. Penyebaran suara dan arus koalisi serta oposisi menyebabkan kantong-kantong politik dalam parlemen yang bergitu banyak.[25] Keberadaan persebaran kantong suara ini tidak menguntungkan bagi keberlangsungan pemerintahan. Selain itu apabila dikaitkan dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan, Israel sebagai negara parlementer memasukkan suatu aturan mengenai parliamentary threshold sesuai dengan kebutuhan tidak dikaitkan dengan bentuk dan sistem negara yang dianut. Kebutuhan utamanya adalah untuk kestabilan politik.
Konstitusi Israel pada Article A of The Basic Law: The Knesset, menyebutkan bahwa terdapat beberapa aturan dasar mengenai kelembagaan Knesset. Knesset yang ada harus dipilih berdasarkan pemilu secara umum, nasional, langsung, setara, dijaga kerahasiaannya dan secara proporsional. Sebagaimana dikutip dalam konstitusi Israel ini menyebutkan[26]: "The Knesset shall be elected by general, national, direct, equal, secret and proportional elections, in accordance with the Knesset Elections Law.” Konstitusi ini memberikan sebuah benang merah peraturan bahwa sebagai negara demokratis, pemerintahan Israel wajib dibentuk melalui pemilu yang sesuai dengan asas-asas dalam Hukum Dasar. Keberadaan parliamentary threshold bukanlah sesuatu yang bersifat konstitutif sehingga memungkinkan untuk terjadi perubahan. Sebagaimana asas-asas tersebut dijabarkan pula dalam perautan dasar Israel itu sendiri, yakni[27]:
-          General: On election day, voters cast one ballot for a political party to represent them in the Knesset. Every Israeli citizen aged 18 or older has the right to vote. Israelis of all ethnic groups and religious beliefs, including Arab Israelis, actively participate in the process and for many years, voting percentages have reached close to 80 percent.
-          National: The entire country constitutes a single electoral constituency.
-          Direct: The Knesset, the Israeli parliament, is elected directly by the voters, not through a body of electors.
-          Equal: All votes cast are equal in weight.
-          Secret: Elections are by secret ballot.
-          Proportional: The 120 Knesset seats are assigned in proportion to each party's percentage of the total national vote. However, the minimum required for a party to win a Knesset seat is 2% of the total votes cast.
Pasca perubahan batas parliamentary threshold, Israel mengadakan pemilu dengan interval persebaran suara partai yang cepat berubah. Hal yang paling mengejutkan dan dapat dianalisa adalah perbandingan suara antara pemilu Israel tahun 2009 dengan pemilihan umum sebelumnya. Pada pemilu 2009 yang berlangsung kemunculan partai baru seperti Yisrael Beitanu mendapat dukungan yang menguras sepertiga suara partai Buruh. Selain Yisrael Beitanu, peningkatan suara Partai Likud yang jumlah kursinya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Hasil pemilu 2009 yang dilakukan oleh Israel antara lain[28]:

Tabel hasil pemilu di Israel dari Knesset Board of Elections
Party
Votes
Presentase %
Seats
+/-
Kadima
758,032
22.47%
28
-1
Likud
729,054
21.61%
27
+ 15
Yisrael Beitanu
394,577
11.70%
15
+ 4
Labor Party
334,900
9.93%
13
- 6
Shas
286,300
8.49%
11
- 1
United Torah Judaism
147,954
4.39%
5
- 1
United Arab List-Ta’al
113,954
3.38%
4
National Union
112,570
3.34%
4
*
Hadash
112,130
3.32%
4
+ 1
New Movement-Meretz
99,611
2.95%
3
- 2
The Jewish Home
96,765
2.87%
3
*
Balad
83,739
2.48%
3
*Partai bentukan baru.

Data tersebut hanya partai-partai yang jumlah suaranya diatas 2% atau telah melewati standar parliamentary threshold sehingga dapat mendudukkan wakilnya pada Knesst. Akan tetapi, yang menjadi sorot perhatian adalah keberadaan partai yang tidak mengantongi jumlah suara sebesar 2 persen dari keseluruhan total pemilih. Partai-partai yang tidak lolos tersebut antara lain: The Green Movement–Meimad, Gil, Ale Yarok, The Greens, Yisrael Hazaka, Tzabar, Koah LeHashpi'a, Da'am Workers Party, Yisrael HaMithadeshet, Holocaust Survivors and Ale Yarok Alumni, Leader, Tzomet, Koah HaKesef, Man's Rights in the Family Party, HaYisraelim, Or, Ahrayut, Brit Olam, Lev LaOlim, Lazuz, Lehem. Ke-dua puluh satu partai yang tidak lolos parliamentary threshold ini mengantongi secara umum apabila digabungkan sebanyak 3.05%. Secara jelas melihat bahwa suara sebanyak 3.05% ini tidak memiliki perwakilan di Knesset. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain, suara rakyat Israel yang tidak tersepresentasi di parlemen masih jauh lebih sedikit.

B.     Parliamentary Threshold di Jerman
Jerman yang negaranya telah ada semenjak abad ke-10, memiliki perjalanan yang beragam dimulai dari bentuk kerajaan, kemudian otoritarian dibawah Hitler, pasca Perang Dunia II dan pasca reunifikasi setelah penghancuran Tembok Berlin. Sistem pemerintahan parlementer dengan kekhususan ini memiliki batas parliamentary threshold sebesar 5% untuk dapat mendudukkan wakilnya di parlemen atau yang dikenal sebagai Bundestag. Sebagai salah satu negara parlementer dengan kekhususan, terdapat sistem pemilihananggota konstituen yang nantinya dapat duduk di parlemen.
Sistem pemilihan yang ada di Jerman apabila dikaitkan dengan parliamentary threshold yang diberlakukan, ada pengecualian yakni dengan adanya hasil pemilihan konstituen sejumlah 3 kursi untuk dapat mewakilkan di parlemen. Pengecualian ini menjadikan sistem pemilihan di Jerman dengan batas parliamentary threshold ini berbeda. Pengecualian ini tertuang pada Basic Law, the fundamentals of the constitution in Art. 1 GG and Art. 20 GG[29] tentang peraturan parlemen di Jerman.
Keberadaan parliamentary threshold di Jerman, apabila dikaitkan dengan sistem multi partai yang dianut, secara filosofis bertujuan untuk menimbulkan pemerintahan yang stabil di parlemen dengan persebaran suara yang ada. Sebagaimana negara-negara lain menerapkan hal yang sama, parliamentary threshold di Jerman adalah suatu jalan agar adanya koordinasi kepartaian yang mana yang dapat duduk dalam parlemen dan yang mana yang tidak dapat duduk di parlemen. Pembatasan ini membuat enam partai lainnya tidak memiliki perwakilan di parlemen dengan akumulasi total sebanyak 6% dari total pemilih. Berikut data pemenang pemilu di Jerman serta jumlah kursi yang didapat di parlemen[30]:
Tabel hasil pemilu di Jerman 2009.
Nama Partai
Jumlah Pemilih
Presentase
Kursi Konstituen
Kursi Kepartaian
Jumlah Kursi
Christian Democratic Union
13,852,743
32.0
173
21
194
Christian Social Union of Bavaria
3,190,95
7.4
45
0
45
Social Democratic Party
12,077,437
27.9
64
82
148
Free Democratic Party
4,075,115
9.4
0
93
93
The Left
4,790,007
11.1
16
60
76
Alliance '90/The Greens
3,974,803
9.2
1
67
68
TOTAL
43,235,817
94%
299
323
622
Sumber: Grundgesetz Bundesrepublik Deutschland. Bundesministerium der Justiz. 2009-03-19. http://www.gesetze-im-internet.de/gg/art_39.html. Retrieved 2009-06-05.

Beberapa negara yang menganut sistem parlementer dengan multi partai biasanya memiliki parliamentary threshold untuk setiap pemilihan yang dilakukan. Selain untuk menciptakan kestabilan politik, juga untuk mengurangi perkembangan arus partai yang pembentukannya dilindungi oleh undang-undang dasar Jerman. Mengutip pendapat dari Scott Mainwaring, memungkinkan sesuatu kejatuhan parlemen akibat mosi tidak percaya. Apabila semua partai diberi kewenangan duduk di parlemen, bagaimana perbandingan antara suara terkceil dan suara paling mayoritas untuk duduk di parlemen tidak dapat ditentukan sehingga keberadaan dari parliamentary threshold sangatlah penting.

Sistematika pemilu di Jerman.
528px-German_Political_System_2

Pada dasarnya hamper semua negara menganut pembatasan legislatif. Hanya dikaitkan dengan kebutuhan dan besaran yang berbeda di tiap negara.

C.    Parliamentary Threshold di Turki
Parliamentary threshold di Turki memiliki perbedaan dan ciri khas sendiri dibandingkan negara-negara lain. Selain ideologi sekuler yang menjadi landasan dalam pelaksanaan demokrasi, Turki memiliki sejarah panjang dengan dimulainya perubahan Kesultanan menjadi negara Demokarsi Liberal. Secara filosofis keberadaan parliamentary threshold di Turki berkenaan dengan keinginan untuk menciptakan kestabilan politik antar kubu partai dalam parlemen.[31]
Parliamentary threshold yang ada di Turki memiliki angka tertinggi dibandingkan negara lain. Angka 10% menjadi batas minimum suatu partai untuk dapat mendudukkan wakilnya di parlemen Turki. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya beserta ruang lingkup demokrasi yang dianut, terdapat pengecualian untuk calon independen yang berhasil meraup suara atas nama dirinya di luar partai yang pada pemilu. Pengecualian ini dapat menghantarkan kalangan non partai untuk dapat duduk di kursi parlemen sebagai representasi rakyat. Pelaksanaan ini membuat salah satu negara dengan parliamentary threshold tertinggi dengan pengcualian melalui mekanisme pemilihan independen. Data tersebut dapat dilihat pada tabel hasil pemilu 2007:[32]
Tabel pemilu Turki 2007.
Nama Partai
Jumlah SUara
Jumlah Kursi
Justice and Development Party
16,340,534
341
Republican People's Party
7,300,234
112
Nationalist Movement Party
5,004,003
71
Independents
1,822,253
26
Sumber: http://secim2007.ntvmsnbc.com/default.aspx
Besaran dari parliamentary threshold yang dianut oleh Turki adalah sebanyak 10%. Setiap partai peserta pemilu dapat mewakilkan delegasinya dalam parlemen apabila memiliki batas minimum 10% dari para pemilih. Pada pemilu yang terakhir dilaksanakan di Turki, sejumlah 10% suara tidak memiliki wakil dalam parlemen dikarenakan partai-partai yang suaranya kurang dari 10% dianulir kedudukannya dalam parlemen.

BAB IV
PARLIAMENTARY THRESHOLD DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA


A. Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai di Indonesia
Sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu : sistem presidensial, sistem parlementer dan sistem campuran. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan pasal tersebut, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan Presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai kepala negara (head of state). Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing menurut undang-undang dasar. Karena itu, kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu dibedakan apalagi dipisahkan. Dalam sistem pemerintahan presidensial, terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu[33] :
1)      Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif
2)      Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja
3)      Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan
4)      Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya
5)      Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya
6)      Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen
7)      Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi
8)      Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat
9)      Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.
Keunggulan dari sistem pemerintahan Presidensial pada saat ini adalah[34] :
1.      Adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) yang secara lengkap tercantum dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945 hasil perubahan
Pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar rakyat secara konstitusional khususnya di bidang politik seperti pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Ketentuan tentang pemilu dan rotasi pemerintahan secara konstitusional ini akan mendukung konsolidasi demokrasi, meningkatkan kontrol terhadap pemerintahan negara, meningkatkan legitimasi pemerintahan dan memajukan rule of law.
2.      Adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai akuntabilitas pemerintahan yang secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (1)
3.      Diadopsikannya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)
4.      Penegasan prinsip checks and ballances yang tercermin dalam Pasal 24C, Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (3), Pasal 15, Pasal 7A, Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 24B UUD 1945 hasil perubahan
5.      Diadopsinya prinsip tentang rule of rotation dan sistem pemilu regular dan langsung seperti diatur dan ditetapkan dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 1945
6.      Penyelenggaraan kedaulatan rakyat dan kekuasaan pemerintahan tunduk pada hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sesudah perubahan
7.      Pembatasan kekuasaaan konstitusional Presiden seperti dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 7C, Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 dan Pasal 16 UUD 1945.
Sedangkan risiko dari sistem pemerintahan Presidensial pada saat ini adalah[35]:
1.      Terbentuknya pemerintahan minoritas akibat sistem multipartai
Mainwaring dalam studinya tahun 1993, menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai cenderung mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan, risiko deadlock kebijakan pemerintahan negara, tindakan Presiden di luar konstitusi dan impeachment.
2.      Praktik korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan akan berkembang luas
3.      Rule by decree atau menjadikan undang-undang sebagai instrument kekuasaan
4.      Terancamnya konsolidasi demokrasi
5.      Konflik DPR versus Presiden sehingga pemerintahan tidak efektif
6.      Accountability blame by blaming
7.      Impeachment
Sistem multipartai berkembang di Indonesia karena faktor keanekaragaman di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari keanekaragaman suku bangsa, budaya, agama dan golongan-golongan dalam masyakarakat. Sistem multipartai lebih mencerminkan kultur bangsa Indonesia daripada dwipartai.
Dalam implementasi sistem presidensial, terjadi pergeseran hingga sedikit menyentuh praktik sistem parlementer. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang sulit dipahami dan terjadi tarik menarik antar partai. Koalisi antar partai malah mengganggu kinerja Presiden. Adanya pergeseran implementasi sistem presidensial terkait dengan fragmentasi politik yang multipartai. Banyak pendapat yang menyatakan sistem presidensial sebenarnya tidak tepat diterapkan di negara yang multipartai. Hal itu menyebabkan adanya kompromi-kompromi politik agar pemerintahan bisa bekerja. tanpa melakukan kompromi dengan partai-partai politik, sulit bagi pemerintah untuk melakukan programnya. Indonesia menganut sistem multipartai, dengan sistem pemilu yang berlaku maka semua partai itu punya peluang mendapat kursi baik di DPR maupun DPRD. Kemudian, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Sistem checks and balances menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari partai politik, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah sering ditolak oleh partai politik yang memiliki wakil di kabinet. “Koalisi” Partai politik bisa bersatu bila suatu isu menguntungkan. Hal ini menyebabkan terwujudnya persaingan dan kerjasama partai politik yang tidak jelas.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa sistem multipartai dan presidensial tidak cocok bila disandingkan bersama. Salah satunya pendapat Scott Mainwaring dalam studinya pada tahun 1993. Mainwaring mengatakan bahwa akan ada problem manakala sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan ”jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif- legislatif. Karena itu, sistem presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwipartai. Dengan menggunakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin[36].
Dampak multipartai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multipartai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bisa dengan kepentingan primordial masing-masing.
Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multipartai kurang berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai. Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen maka efektivitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.
Kedua, kepribadian dan kapasitas presiden merupakan salah satu faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multipartai membangun koalisi partai politik adalah hal yang umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial tidak bersifat mengikat dan permanen. Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak menguntungkan partai politik cenderung melakukan oposisi. Hal ini memperlihatkan partai politik tidak mempunyai ideology dalam koalisi. Mereka berkoalisi sesuai dengan isu yang ada dalam pemerintahan.
Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon presiden tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggota-anggotanya di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah.

B.  Parliamentary Threshold dan Pengaturannya dalam UU 10 Tahun 2008
Parliamentary Threshold adalah ketentuan batas minimal perolehan suara yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu untuk bisa menempatkan calon anggota legislatifnya di parlemen. Hal ini berarti partai politik yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold tidak berhak mempunyai wakilnya di parlemen sehingga suara yang telah diperoleh oleh partai politik tersebut dianggap hangus.
Parliamentary Threshold di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2009, diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Ketentuan ini diatur dalam pasal 202 sebagai berikut :
(1)   Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.  
Penggunaan Parliamentary Threshold di Indonesia baru dimulai pada pemilu 2009 yang lalu. Dengan adanya pengaturan batas minimal perolehan suara ini tidak semua partai politik peserta pemilu tahun 2009 dapat menduduki parlemen. Buktinya dari 38 partai peserta pemilu hanya 9 yang memiliki wakilnya di parlemen. Berikut adalah data hasil penghitungan suara pemilu tahun 2009, yakni:

Hasil Penghitungan Suara Sah
Partai Politik Peserta Pemilu
Dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Tahun 2009[37]




No.
Nama Partai
Perolehan Suara
Prosentase
1
Partai Demokrat 
21,703,137
20.85%
2
Partai Golongan Karya
15,037,757
14.45%
3
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 
14,600,091
14.03%
4
Partai Keadilan Sejahtera
8,206,955
7.88%
5
Partai Amanat Nasional
6,254,580
6.01%
6
Partai Persatuan Pembangunan 
5,533,214
5.32%
7
Partai Kebangkitan Bangsa
5,146,122
4.94%
8
Partai Gerakan Indonesia Raya
4,646,406
4.46%
9
Partai Hati Nurani Rakyat 
3,922,870
3.77%
10
Partai Bulan Bintang
1,864,752
1.79%
11
Partai Damai Sejahtera
1,541,592
1.48%
12
Partai Kebangkitan Nasional Ulama 
1,527,593
1.47%
13
Partai Karya Peduli Bangsa
1,461,182
1.40%
14
Partai Bintang Reformasi
1,264,333
1.21%
15
Partai Peduli Rakyat Nasional
1,260,794
1.21%
16
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 
934,892
0.90%
17
Partai Demokrasi Pembaruan
896,660
0.86%
18
Partai Barisan Nasional
761,086
0.73%
19
Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 
745,625
0.72%
20
Partai Demokrasi Kebangsaan 
669,417
0.64%
21
Partai Republika Nusantara 
630,780
0.61%
22
Partai Persatuan Daerah 
550,581
0.53%
23
Partai Patriot
547,351
0.53%
24
Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 
468,696
0.45%
25
Partai Kedaulatan
437,121
0.42%
26
Partai Matahari Bangsa 
414,750
0.40%
27
Partai Pemuda Indonesia 
414,043
0.40%
28
Partai Karya Perjuangan 
351,440
0.34%
29
Partai Pelopor 
342,914
0.33%
30
Partai Kasih Demokrasi Indonesia 
324,553
0.31%
31
Partai Indonesia Sejahtera 
320,665
0.31%
32
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 
316,752
0.30%
33
Partai Buruh
265,203
0.25%
34
Partai Perjuangan Indonesia Baru 
197,371
0.19%
35
Partai Nahdlatul Ummah Indonesia
146,779
0.14%
36
Partai Sarikat Indonesia
140,551
0.14%
37
Partai Penegak Demokrasi Indonesia 
139,554
0.13%
38
Partai Merdeka
111,623
0.11%





Total Suara
104,099,785
100,0%





Jumlah Suara sah
104,099,785
85,62%

Jumlah Suara Tidak Sah
17,488,581
14,38%

Total Pemilih
121,588,366
100%
Sumber: mediacenter.kpu.go.id
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya Partai Demokrat, Parta Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat yang notabene memiliki jumlah suara diatas 2,5% dari total suara yang sah. Besarnya ambang batas sebesar 2,5% ini berdampak pada banyaknya suara rakyat yang hilang. Sekitar 18.30% dari total suara atau sebesar 19.050.261 suara rakyat Indonesia hangus.
Akan tetapi, dalam pemilu sebuah lembaga perwakilan adanya suara yang hangus atau hilang merupakan sebuah resiko demokrasi. Anggota DPR yang terpilih, bukan berarti hanya akan membela partai atau para pemilihnya saja, melainkan akan mewakili seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

C.  Dampak Parliamentary Threshold dalam Pemilu Legislatif
Ketentuan Parliamentary Threshold dalam Pemilu Legislatif turut mempengaruhi peta kekuatan partai politik di DPR. Indonesia menganut sistem multipartai yang memungkin lahirnya banyak partai untuk bersaing dalam Pemilu. Pada Pemilu 1999 tercatat sebanyak 48 partai berlaga dalam Pemilu untuk memperoleh kursi di DPR. Pada Pemilu tahun 2004, angka tersebut turun menjadi 24 partai peserta. Namun pada Pemilu 2009, angka tersebut kembali meningkat menjadi 38 partai (awalnya 34 partai) ditambah 6 partai local di Aceh. Namun, tidak semua dari partai politik peserta pemilu tersebut akan memperoleh kursi di DPR. Ketentuan Parliamentary Threshold inilah yang menentukan partai mana yang akan menduduki kursi DPR.
Ketentuan Parliamentary Threshold ini menimbulkan persoalan bagi sebagian kalangan, utamanya partai kecil, yang tidak mendulang banyak massa. Kekhawatiran muncul karena tipisnya harapan untuk duduk di DPR dan ikut menjadi penentu kebijakan nasional. Sementara keikutsertaan dalam pemrintahan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Kekhawatiran lain juga muncul karena hanya partai besar saja yang dipastikan akan memperoleh kursi di DPR sehingga hanya kepentingan partai besar yang akan terpenuhi. Sementara partai kecil mengklaim bahwa mereka membawa kepentingan rakyat kecil yang selama ini gagal diperjuangkan oleh partai besar lainnya. Hal paling ekstrim yang dikhawatirkan sebagian kalangan adalah ketakutan bahwa dengan Parliamentary Threshold ini akan membawa Indonesia kembali pada era Orde Baru dimana parlemen dikuasai oleh partai besar dan dekat dengan kekuasaan. 
Karena adanya kekhawatiran tersebut, maka ketentuan Parliamentary Threshold ini sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
 Pemohon perkara tersebut adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.
Mereka menganggap Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan  Pasal  209 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang terkait dengan pemberlakuan PT tidak konstitusional.
Di antara ketiga kelompok Pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa hanya anggota Parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi syarat sebagai Pemohon, karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.
Terkait dengan pokok permohonan, MK berpendapat lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold (ET) maupun PT. “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,” ucap Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar membacakan pertimbangan putusan.
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut MK, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Hal ini tertuang dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VII/2009.[38]

D.    Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Parliamentary Threshold di Indonesia
Sebagai negara yang menggunakan sistem presidensil multi partai, Indonesia menerapkan sistem Parliamentary Threshold yang bertujuan untuk membatasi anggota legislatif yang masuk sebagai anggota DPR.
Pengaturan Parliamentary Threshold sebeser 2,5 % dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana yang diatur dalam pasal 202 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memiliki dampak kepada sistem pemerintahan di Indonesia.
Berikut ini adalah kelebihan dan kekurangan dari penerapan Parliamentary Threshold di Indonesia, yakni:
  1. Kelebihan Penerapan Parliamentary Threshold di Indonesia
a)      Mengurangi resiko konflik dan perbedaan di Parlemen maupun di Pemerintahan
Banyaknya anggota legislatif pada parlemen dari berbagai partai politik dikhawatirkan akan mengganggu kestabilan pemerintahan di Indonesia.
Menurut Scott Mainwaring dalam artikel berjudul ‘Party Systems in The Third Wave’ menyatakan bahwa sistem presidensil dianggap tidak cocok/kompatibel dengan sistem multi partai.[39] Scott menyatakan bahwa sistem multipartai akan menghadirkan Political Gridlock yang sulit dihindari dalam penyelenggaraan pemerintahan presidensial.
Pada negara penganut sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, akan mudah terjadi permasalahan legislasi terutama dalam proses pengeluaran kebijakan publik. Keadaan ini diperburuk jika presiden terpilih bukan berasal dari partai yang memiliki anggota DPR terbesar di parlemen, karena akan sulit sekali untuk mengeluarkan suatu kebijakan karena terdapat tarik ulur kepentingan di dalamnya.[40] Oleh sebab itu timbul pemikiran untuk melakukan penyederhanaan partai di parlemen untuk mengimbangi ketidakcocokan tersebut.
b).  Menyederhanakan Kepartaian dan Melakukan Stabilitas Demokrasi
Sistem multi partai yang dianut di Indonesia menyebabkan banyak partai yang lahir dengan berbagai kepentingan. Sementara kepentingan utama bagi kesejahteraan rakyat terlupakan. Bahkan kepentingan beberapa partai sejatinya sama namun karena beberapa faktor tertentu kepentingan tersebut tidak mau disandingkan dalam satu partai. Oleh sebab itu butuh dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian tanpa mengganggu prinsip demokrasi pada suatu negara.
Sistem parliamentary threshold sesungguhnya sangat mendukung penerapan demokrasi di Negara yang menganut sistem presidensiil. Model sistem kepartaian multipartai (multipartaisme) memang rentan menimbulkan gejolak perbedaan dan konflik antarpartai. Apalagi bila sistem tersebut bersanding dengan sistem pemerintahan presidensial (presidensiil).  Sistem multipartai dinilai tidak cocok dengan sistem presidensial yang membutuhkan dukungan besar partai politik dan parlemen. Pun, efektivitas pemerintahan tidak akan berjalan bila banyak partai yang tidak sejalan dengan garis kebijakan pemerintah karena perbedaan kepentingan politik. Padahal presiden yang dipilih langsung membutuhkan ruang politik yang cukup untuk memenuhi tuntutan responsibilitas mandat rakyat. Sekaligus pula memenuhi tuntutan pembuatan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan publik
c).  Dapat meningkatkan Kualitaas Partai
Menurut Zudan Arif Fakrulloh, Parlimentary Threshold secara bertahap akan menciptakan multipartai sederhana. [41] Hal ini berarti bahwa partai politik tidak hanya mempersiapkan diri sebagai peserta dalam kontestasi politik namun benar-benar menunjukkan perjuangan yang dilakukan terhadap rakyat sehingga benar-benar mendapat dukungan suara dari rakyat dan lolos Parliamentary Threshold.
  1. Kekurangan Penerapan Parliamentary Threshold di Indonesia
Jika dilihat dari perspektif Hukum Tata Negara, penerapan Parliamentary Threshold dinilai lebih efektif untuk mencegah Political Gridlock yang sulit dihindari dalam penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Presidensil dari pada menggunakan Electoral Threshold.[42]
Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay berpendapat bahwa penggunaan Parliamentary Threshold dinilai lebih efektif daripada melakukan pembatasan jumlah parpol di pemilu. Parpol yang tidak mencapai batas Electoral Threshold diharuskan membubarkan atau menggabungkan diri jika ingin ikut pemilu berikutnya. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara[43]
Namun demikian, pemilihan Parliamentary Threshold sebagai sarana mewujudkan pemerintahan yang stabil juga tidaklah sempurna. Penggunaan Parliamentary Threshold akan berpotensi pada hilangnya suara pemilih yang diberikan kepada calon legislatif. Kelemahan ini tentunya akan sangat merugikan bagi calon legislatif dan konstituen yang diwakilinya.
Berdasarkan data penyelenggaraan pemilu tahun 2009 oleh KPU. Dari total suara sah yang dihitung sebanyak 13.2 persen perolehan suara partai politik peserta pemilu hangus karena tidak memenuhi persyaratan PT 2.5 peraen. Tentunya ini akan berdampak besar pada sistem demokrasi kita tentunya.[44]

Dalam hubungannya dengan kelebihan dan/atau kekurangan dari implementasi Parliamentary Threshold di Indonesia, dalam putusan perkara 3/PUU-VII/2009 pengujian terhadap UU No. 10 Tahun 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa kebijakan parliamentary threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945.[45]
Terkait dengan pokok permohonan, Abdul Mukthie Fadjar, Hakim Konstitusi, MK berpendapat lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi.
Ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR.[46]


BAB V
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Pelaksanaan Parliamentary Threshold pada pemilu legislatif di suatu negara tidak berkaitan langsung dengan bentuk  negaranya. Setiap negara bebas memilih bagaimana konsepsi demokrasi itu dilaksanakan. Letak utama dari pelaksanaan demokrasi adalah sejalan dengan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat di suatu bangsa. Sehingga, refleksi dari demokrasi tidak menuntut suatu negara harus menerapkan suatu pemilu yang baku, melainkan sesuai dengan nilai-nilai ketatanegaraan pada negaranya.
Letak dasar adanya parliamentary threshold adalah untuk mengefektifitaskan representasi suara rakyat di parlemen, bukan membatasi hak rakyat untuk memilih wakilnya di parlemen. Suara yang tidak terwakili, bukan berarti membuat rakyat kehilangan kedaulatannya di parlemen. Rakyat Indonesia baik yang pilihannya duduk di DPR maupun tidak, tetap dalam lajur demokrasi karena setiap anggota DPR yang dipilih  harus mengesampingkan kepentingan golongan atau partainya, dan mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Scott Mainwaring  menyatakan sistem presidensial sebenarnya tidak tepat diterapkan di negara yang multipartai. Hal ini disebabkan di dalam sebuah sistem presidensial dan multipartai, membangun koalisi partai politik adalah hal yang umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial tidak bersifat mengikat dan permanen. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Hal ini memperlihatkan partai politik tidak mempunyai ideologi dalam koalisi. Mereka berkoalisi sesuai dengan isu yang ada dalam pemerintahan. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Hal ini bisa terjadi bila ada konflik antara eksekutif dengan legislatif yang menyebabkan deadlock.
Pemilu tahun 2004 dengan 24 peserta pemilu hanya 8 partai yang memiliki perwakilan di DPR. Pada pemilu 2004 terdapat 5.87% suara yang tidak memiliki perwakilan di DPR. Kemudian dalam pemilu tahun 2009 dengan adanya parliamentary threshold sebesar 2.5%, dari 38 partai yang mengikuti pemilu terdapat 9 partai yang memiliki perwakilan di dalam DPR. Suara yang tidak terwakili dalam DPR pada pemilu 2009 mencapai 18.30%. Akan tetapi, tidak bisa menyebutkan bahwa 18.30% ini tidak terwakili di dalam DPR sebagaimana telah disebutkan tadi wakil yang telah duduk di DPR tidak hanya mewakili pemilihnya saja tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Penerapan aturan ini tidak bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia karena esensi utamanya adalah adanya wakil yang dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Oleh karena itu, untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil, sistem multipartai yang ada di Indonesia sebaiknya disederhanakan. Salah satu caranya dengan parliamentary threshold ini. Adanya parliamentary threshold menjadi salah satu sarana untuk menyederhanakan partai dan ketentuannya bebas bagi suatu negara untuk menentukan batas dari parliamentary threshold. Sebagai contoh negara Israel yang menetapkan 2% dengan suara yang tidak terepresentasi di parlemen 3.05%, Jerman dengan parliamentary threshold sebesar 5% memiliki memiliki suara yang tidak terepresentasi di parlemen sebesar 6%. Negara Turki yang memiliki batas parliamentary threshold sebesar 10% memiliki suara yang tidak terepresentasi dalam parlemen sebesar 10% tidak menjawab ketakutan adanya suara yang tidak terwakili. Indonesia dengan parliamentary threshold 2,5%, masih memungkinkan dan tidak bertentangan dengan konstitusi hanya saja masih perlu dikaji atas dasar pertimbangan yang kuat termasuk diantaranya kesiapan dari partai yang ada.






B.     Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut, maka ada beberapa saran yang dapat kami ajukan, yakni:
  1. Penggunaan Parliamentary Threshold di Indonesia sekiranya sangat dibutuhkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Oleh sebab itu pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaannya pada pemilu legislatif harus diperkuat mengingat pengaturannya yang sekarang sangat minim, yakni hanya dalam pasal 202 UU 10 Tahun 2008.
  2. Besar ambang batas sebesar 2.5% masih perlu dikaji kembali. Pengkajian ini perlu dilakukan mengingat dalam jumlah besaran yang sekarang terlihat masih terlalu banyak partai yang mengisi parlemen, sehingga kemungkinan deadlock di Indonesia masih sangat besar.
  3. Kajian makalah ini masih sangat dasar dan belum menyeluruh, mengingat metode penelitian atau penulisan yang hanya menerapkan studi literatur yang masih sangat terbatas. Diharapkan makalah ini dapat dikaji kembali secara lebih tajam dan meluas pada penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshidiqie, Jimly. 2007.  Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Bina Ilmu Pustaka.
Azed, Abdul Bari & Makmur Amir. 2005. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Depok: Universitas Indonesia.
Council of Europe, State of human rights and democracy in Europe, (Strasbroug: Council of Europe, 2007),
Elazar,  Judah Elazar & Shmuel Sandler, 1998.  Israel at The Polls, 1996, London: Frank Cass Publisher.
Kosntitusi Israel, Article 4 The Basic Law of Israel: The Knesset.
Mainwaring, Scoot. 1997. Presidential Institutions and Democratic Politics : Comparing Regional and National Contexts.  Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Rachman, Aulia A. 2007. Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD 1945. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Rully Chairul Azwar. Pembatasan Partai Politk Peserta Pemilu. Pokok-pokok pikiran disampaikan pada Talkshow “Efektivitas Penyelenggaraan Pemilu: Multi Partai atau Pembatasan Partai Peserta Pemilu” yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi, di Hotel Santika Jakarta, Rabu (20 September 2006).

Website
Dikutip dari artikel Parliamentary Threshold untuk Menciptakan Multipartai Sederhana dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21096/iparliamentary-thresholdi-untuk-menciptakan-multipartai-sederhana- diunduh pada Sabtu, 26 Juni 2010 pukul 01.14 wib
Dikutip dari artikel berjudul “CATATAN SINGKAT TENTANG ELECTORAL THRESHOLD DAN PARLIAMENTARY THRESHOLD” hal 2 dalam www.scribd.com/doc/20868964/ diunduh pada sabtu 26 juni 2010 pukul 01.28 wib.
Dikutip dari artikel “Parlamentary Threshold dan Multipartai Sederhana” dalam http://www.modusaceh.com/html/read/fokus/2688/parliamentary_threshold_dan_multipartai_sederhana.html/ diunduh pada sabtu 26 juni 2010 pukul 01.32 wib.
Dikutip dari artikel “Parliamentary Threshold 5 % Sehatkan Sistem Pemilu” dalam http://bataviase.co.id/node/245932 diunduh pada Sabtu, 26 Juni 2010 pukul 01.47 wib.
Hukum Online.com. Parliamentary Threshold dan Sistem Mult partai Sederhana. Diakses pada tanggal 15 juni 2010.
www.modusaceh.com focus: Parliamentary Threshold dan Multipartai Sederhana. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010.

Produk Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 12 Tahun 2003
UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Risalah Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945


[1]   Scott Mainwaring.1997. Presidential Institutions and Democratic Politics : Comparing Regional and National Contexts.  Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Hal. 264
[4] Abdul Bari Azed & Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Depok: Universitas Indonesia, 2005), hlm.20.
[5] Ibid, hlm.73.
[6] Rully Chairul Azwar. Pembatasan Partai Politk Peserta Pemilu. Pokok-pokok pikiran disampaikan pada Talkshow “Efektivitas Penyelenggaraan Pemilu: Multi Partai atau Pembatasan Partai Peserta Pemilu” yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi, di Hotel Santika Jakarta, Rabu (20 September 2006). Hlm. 10. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010.
[7] Lihat UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
[8] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Bina Ilmu Pustaka, 2007) h.758.
[9] Ibid, hlm.761.
[10] Prof. Abdul Bari Azed dan Makmur amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, hlm. 26
[11] Jimly Asshidiqie.  Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), hlm.766.
[12] Ibid, hlm,769.
[13] Ibid, hlm.768.
[14] Pasal 9 ayat 1 UU No.12 tahun 2003,Op.Cit
[15] Pasal 9 ayat 2. Ibid
[16] Pasal 13 ayat 1 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.
[17] http://en.wikipedia.org/wiki/Basic_Law_For_the_Federal_Republic_of_Germany
[18] Hukum Online.com. Parliamentary Threshold dan Sistem Mult partai Sederhana. Diakses pada tanggal 15 juni 2010.
[19] Lihat Putusan perkara Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009
[20] www.modusaceh.com focus: Parliamentary Threshold dan Multipartai Sederhana. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010.
[21] Rully Chairul Azwar. Pembatasan Partai Politk Peserta Pemilu. Pokok-pokok pikiran disampaikan pada Talkshow “Efektivitas Penyelenggaraan Pemilu: Multi Partai atau Pembatasan Partai Peserta Pemilu” yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi, di Hotel Santika Jakarta, Rabu (20 September 2006). Hlm. 10. Diakses pada tanggal 23 Juni 2010.
[22] Council of Europe, State of human rights and democracy in Europe, (Strasbroug: Council of Europe, 2007), h.166.
[23] Daniel Judah Elazar & Shmuel Sandler, Israel at The Polls, 1996, (London: Frank Cass Publisher, 1998), h.101
[24] Ibid, h.104.
[25] Council of Europe, State of human rights and democracy in Europe, (Strasbroug: Council of Europe, 2007), h.114.
[26] Kosntitusi Israel, Article 4 The Basic Law of Israel: The Knesset.
[27] Ibid, penjelasan.
[28] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/is.html
[29] http://en.wikipedia.org/wiki/Basic_Law_for_the_Federal_Republic_of_Germany

[30] http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Germany
[31] Council of Europe, State of human rights and democracy in Europe, (Strasbroug: Council of Europe, 2007), h.114.
[32] http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Turkey
[33] Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Hal. 316
[34] Aulia A. Rachman. 2007. Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD 1945. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 72-73

[35] Aulia A. Rachman. 2007. Sistem Pemerintahan Presidentil Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD 1945. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 78-83

[36] Scott Mainwaring.1997. Presidential Institutions and Democratic Politics : Comparing Regional and National Contexts.  Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Hal. 264
[37] Kontak: Data Collection and Management; Alamat: Jl. Imam Bonjol No. 29, Jakarta Pusat,  Telp: 021-3145955, Faks: 021-3145855. http://mediacenter.kpu.go.id
[39]             Scott Mainwaring dalam artikel “Party Systems in The Third Wave” dalam Journal of Democracy volume 9, number 3, July)
[40]             Dikutip dari artikel Parliamentary Threshold untuk Menciptakan Multipartai Sederhana dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21096/iparliamentary-thresholdi-untuk-menciptakan-multipartai-sederhana- diunduh pada Sabtu, 26 Juni 2010 pukul 01.14 wib
[41] Ibid.
[42]             Dikutip dari artikel berjudul “CATATAN SINGKAT TENTANG ELECTORAL THRESHOLD DAN PARLIAMENTARY THRESHOLD” hal 2 dalam www.scribd.com/doc/20868964/ diunduh pada sabtu 26 juni 2010 pukul 01.28 wib.
[43] Dikutip dari artikel “Parlamentary Threshold dan Multipartai Sederhana” dalam http://www.modusaceh.com/html/read/fokus/2688/parliamentary_threshold_dan_multipartai_sederhana.html/ diunduh pada sabtu 26 juni 2010 pukul 01.32 wib.
[44] Dikutip dari artikel “Parliamentary Threshold 5 % Sehatkan Sistem Pemilu” dalam http://bataviase.co.id/node/245932 diunduh pada Sabtu, 26 Juni 2010 pukul 01.47 wib.
[45] Lebih lengkapnya baca Risalah Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945
[46] Selengkapnya baca Putusan MK No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945