Minggu, 03 April 2011

Dana BOS dalam Perspektif Hukum Anggaran Negara


Dana BOS dalam Perspektif Hukum Anggaran Negara
Judul Artikel   : Dana BOS Belum Tersalurkan di Enam Daerah di Sulsel
Sumber            :http://www.mediaindonesia.com

Fakta
Kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah terbukti kurang dapat menekan penyelewengan dalam pengelolaannya. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta terhadap tujuh SMP dan SD tentang kerugian negara dan daerah Rp5,7 miliar merupakan salah satu bukti bahwa ada penyelewengan dana BOS di tingkat sekolah. Pada 2007, BPK sebenarnya telah menemukan bahwa ada penyelewengan dana BOS di 2.054 sekolah dari 3.237 sampel sekolah yang diperiksa dengan nilai penyimpangan dana sekitar Rp28,1 miliar. Hal itu berarti pada 2007 ada enam dari sepuluh sekolah yang melakukan penyelewengan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp13,6 juta.
Penyelewengan dana BOS di tingkat sekolah sepertinya telah menjadi fenomena. Salah satu sebabnya adalah rendahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.

Permasalahan
Berdasarkan fakta di atas, maka permasalahan pokok yang menjadi bahasan utama analisis ini adalah:
1.       Apakah dana BOS termasuk keuangan negara?
2.       Jika terjadi penyalahgunaan dana BOS apakah negara akan dirugikan?

Analisis
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka dapat dianalisis dengan menggunakan tiga teori hukum anggaran negara, yakni regulation (regulasi), governance (tata kelola), dan risk (resiko).
A.  Regulation
Regulation atau regulasi dalam teori hukum anggaran negara menjelaskan bahwa suatu hal dapat dikategorikan sebagai keuangan negara jika pengaturan atau kebijakannya bersumber dari menteri keuangan selaku bendahara umum negara yang dituangkan dalam bentuk APBN.
Sebelum memasuki bangunan analisis pengaturan dari dana BOS, maka sebelumnya perlu dijelaskan mengenai ruang lingkup dari keuangan negara.
Ruang Lingkup Keuangan Negara
Mengenai Ruang lingkup dari keuangan negara diatur dalam UUD NRI 1945, yakni dalam ketentuan Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi:
“Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”[1]
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa terdapat lima poin penting dari keuangan negara, yakni:
1.   Bahwa APBN sebagai wujud dari keuangan negara;
2.   APBN harus ditetapkan setiap tahun;
3.   Bahwa penetapannya harus berdasarkan undang-undang;
4.   Pelaksanaannya dilakukan secara terbuka; serta
5.   Keuangan negara bertujuan untuk kemakmuran rakyat (public welfare).
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka secara sempit ruang lingkup keuangan negara hanya sebatas APBN yang mana penetapannya harus berdasarkan undang-undang.
Regulasi Kebijakan Dana BOS
Kebijakan dana BOS diawali dari adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 yang mengakibatkan pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM. Dalam rangka mengatasi dampak kenaikan harga BBM tersebut, Pemerintah merealokasikan sebagian besar anggarannya ke empat program besar, yaitu program pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan subsidi langsung tunai (SLT).
Salah satu program di bidang pendidikan adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menyediakan bantuan bagi sekolah dengan tujuan membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan beban bagi siswa yang lain dalam rangka mendukung pencapaian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 31 ayat (4) disebutkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Program ini bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan bagi siswa lain. Dengan BOS diharapkan siswa dapat memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan wajib belajar Sembilan tahun. Pengaturan mengenai dana BOS dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Penyaluran/Pencairan Dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).
Dengan diaturnya kebijakan Dana BOS oleh Menteri Keuangan selaku bendahara negara, maka syarat pertama ini terpenuhi.

B.  Governance
Syarat governance menjelaskan bahwa suatu keuangan negara harus mengacu pada undang-undang APBN dan bertanggung jawab kepada DPR selaku wakil rakyat. Berdasarkan Konsideran menimbang huruf C Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Penyaluran/Pencairan Dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), menegaskan bahwa:
pelaksanaan program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak yang sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme APBN perlu dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan pada bagian mengingatnya menagcu pada Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa dana BOS bersumber pada APBN yang dipertanggungjawabkan kepada DPR RI.

C.  Risk
Unsur ketiga ini yang menekankan bahwa suatu kenuangan negara jika mengalami resiko kerugian maka negaralah yang harus menanggung resiko tersebut.
Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Penyaluran/Pencairan Dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), menegaskan bahwa:
Dana PKPS-BBM dialokasikan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang disahkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan setempat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, disebutkan DIPA yang merupakan instrumen dari pengelolaan APBN.
Mengenai aspek hukum kerugian negara, dapat diinterpretasikan atau ditafsirkan terhadap pasal 23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara, yakni penafsiran pertama adalah:
“...pengertian anggaran negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam arti sempit.”
Berdasarkan rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.[2]

Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas maka kesimpulan yang tepat terhadap kedua permasalahan tersebut adalah:
1.      Bahwa dana BOS memenuhui ketiga unsur teori hukum anggaran negara, yakni bahwa pengaturan dana BOS berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Penyaluran/Pencairan Dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM), yang mana legitimasinya bertanggung jawab kepada DPR/DPRD; bahwa dana BOS mengacu pada Undang-Undang APBN sebagai bentuk anggaran pendidikan minimal 20% APBN sebagai amanat Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945; serta bahwa memenuhi syarat bahwa segala resiko dari dana BOS dibebankan kepada negara.
2.      Dikarenakan dana BOS memenuhi ketiga unsur teori hukum administrasi negara, maka dana BOS masuk dalam lingkup keuangan negara. Hal ini berarti kerugian atau resiko atas dana BOP menjadi resiko keuangan negara.
                                                                                                            


[1] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Pasca Perubahan Ketiga, Pasal 23 ayat 1.
[2] Arifin S. Atmadja, Aspek Hukum Kerugian Negara pada Perseroan Terbatas yang Sahamnya Antara lain Dimiliki oleh Pemerintah (Modul Hukum Anggaran Negara), (Depok: Fakultas Hukum, hal. 12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar