Jumat, 15 Oktober 2010

Keabsahan dan Legalitas Jaksa Agung Pasca Putusan MK 49/PUU-VIII/2010


Nama  : Fadillah Isnan
NPM   : 0806341993
Mata Kuliah  : Teori Perundang-undangan
Soal:
Bagaimana pendapat Anda mengenai keabsahan dan legalitas jaksa agung saat ini setelah keputusan Mahkamah Konstitusi menerima sebagian pengujian atas UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terkait masa jabatan jaksa agung?
Jawab:

Kasus Posisi[1]
Pada tanggal 20 oktober 2004, diterbitkanlah sebuah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 187 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu dengan masa tugas kabinet lima Tahun terhitung sejak tanggal disahkan. Keppres ini berisi nama-nama anggota Kabinet Indonesia Bersatu yang terdiri atas jabatan-jabatan menteri dan setingkat menteri. Pada Keppres tersebut, Abdul Rachman Saleh diangkat sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu, yang mana Jabatan Jaksa Agung dimasukkan menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara.
Pada tanggal 7 mei 2007, Abdul Rachman Saleh diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan digantikan dengan Hendarman Supanjdi S.H, CN berdasarkan Keppres 31/P Tahun 2007 sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu dengan kedudukan setingkat Menteri Negara.[2]
Pada tanggal 20 oktober 2009, masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu habis digantikan dengan Kabinet Indonesia Bersatu II berdasarkan SK Presiden Nomor 83/P/2009. Pada SK Presiden tersebut yang diangkat hanya para Menteri Negara dan sama sekali tidak menyebutkan kedudukan Jaksa Agung. SK Presiden ini juga tidak menegaskan apakah Jaksa Agung Hendarman Supandji diangkat kembali atau bahkan diberhentikan sebagai Jaksa Agung dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
Pada tanggal 6 Juli 2010 dilakukan permohonan judicial review dengan Nomor Perkara 49/PUU-VIII/2010 oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (sebagai pemohon) terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai masa jabatan jaksa agung yang dianggap tidak jelas dan multi tafsir. Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menafsirkan bahwa “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.

ANALISIS
Jaksa Agung adalah Pejabat Negara Setingkat Menteri
Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan. Kejaksaan adalah badan pemerintah, yang dimana pimpinannya juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan yang kedudukannya dibawah Presiden, sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwasanya Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Sebagai pemegang kekuasaan pemerintan tertinggi, presiden memiliki hak istimewa untuk mengangkat ataupun memberhentikan Jaksa Agung, Hal ini ditegaskan padea Pasal 19 Undang-Undang Kejaksaan RI yang menyebutkan bahwa Jaksa Agung adalah Pejabat Publik yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden.
Berdasarkan ajaran mengenai kekuasaan eksekutif ada dua kekuasaan eksekutif, yaitu eksekutif yang diatur hukum tata negara artinya semua tindakan-tindakan yang bersifat staatsrecht dan eksekutif yang pelaksanaan tugasnya berlaku atau sebagai pejabat administrasi negara dan karena itu semua tindakan-tindakannya diatur oleh hukum administrasi negara administratief recht dan semua tindakannya bersifat administratiefsrechtelijk.[3]  
Jaksa Agung dalam menjalankan fungsi staatsrechtelijk yang bersifat staatsrechtelijk als staatsrecht bukan merupakan fungsi ketatanegaraan, namun fungsi administrasi di mana Jaksa Agung bertindak atas nama negara tetapi dalam bidang administrasi negara, sehingga Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan Presiden semata-mata menjalankan fungsi administrasi negara, sebagai pejabat administrasi negara. Karena itu, Jaksa Agung harus tunduk pada semua kaidah-kaidah hukum administrasi negara.[4]
Dengan demikian, walaupun pengangkatan ataupun pemberhentian Jaksa Agung merupakan hak Presiden, tetap saja dalam pelaksanaanya harus dilakukan dengan sebuah Keputusan Presiden (Keppres), tidak dengan sendirinya, hal ini perlu dilakukan guna menjalankan tertib administrasi dan menciptakan kepastian hukum.

Putusan MK bersifat Final, Mengikat dan Non-Rektro aktif
Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 10 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”
Ketentuan ini memiliki implikasi bahwa sebuah putusan MK tidak bisa dimintakan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, sebagaimana pada putusan Peradilan Umum. Dan langsung mengikat ketika putusan tersebut dibacakan.
Menjadi sebuah permasalahan apakah sejak 20 oktober 2009 hingga saat ini semua kegiatan penuntutan ataupun kegiatan yang dilakukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung ilegal atau tidak. Sebab jika ternyata jabatan Jaksa Agung tersebut ilegal, bisa dikatakan seluruh kegiatan penuntutan juga akan kehilangan dasar hukumnya, sebab penuntut umum tersebut tidak memiliki hak untuk melakukan penuntutan.
Akan tetapi perlu diingat bahwa putusan MK bersifat Non-Retro aktif yang berarti bahwa putusan tersebut hanya akan menjadi dasar hukum untuk masa ke depan, tidak mengatur untuk masa jabatan yang telah berlalu. Sehingga dengan adanya asas ini, masa jabatan Jaksa Agung selesai ketika putusan ini dibacakan, bukan sejak tanggal 20 oktober 2009. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan yang cepat dari Presiden apakah akan memberhentikan Hendarman dan mengangkat Jaksa Agung baru atau tidak, sebab jabatan Jaksa Agung adalah jabatan strategis yang tidak boleh kosong.

Berakhirnya Masa Jabatan Jaksa Agung
Dengan diterimanya sebagian permohonan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (sebagai pemohon) terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai masa jabatan jaksa agung memberikan kejelasan masa jabatan Jaksa Agung yakni bahwa masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.
Sesuai dengan konvensi ketatanegaraan yang berlangsung sejak tahun 1961, masa jabatan seluruh menteri dalam kabinet mengikuti masa bakti satu kabinet tersebut.[5] Jika melihat kembali Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 187 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, Abdul Rachman Saleh diangkat sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu dengan kedudukan setingkat menteri negara. Karena pengangkatan Hendarman Supandji berdasarkan Keppres 31/P Tahun 2007 yang menggantikan Abdul Rachman Saleh.
Hal ini berarti kedudukan Hendarman Supandji selaku Jaksa Agung yang menggantikan Abdul Rachman Saleh, berakhir pula dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan berakhirnya masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal 20 Oktober 2009.
Hendarman Supandji tidak diangkat kembali sebagai Jaksa Agung berdasarkan Kepres, baik menjadi anggota kabinet Indonesia Bersatu II dengan status setingkat menteri negara maupun sebagai Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004.
Akan tetapi UU 16/2004 sendiri tidak menetapkan berapa lama masa jabatan Jaksa Agung atau kapan berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung. Pengaturan ini mengandung multi tafsir yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakpastian hukum. Masa jabatan Jaksa Agung tidak dibatasi, artinya terdapat kecenderungan keberadaan masa jabatan otoritas publik yang tanpa batas. Sedangkan, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menetapkan setiap orang berhak atas pengakuan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
                        Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengakhiri multi tafsir Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, bahwa "Berakhirnya masa jabatan" Jaksa Agung adalah bersamaan dengan berakhirnya masa bakti suatu kabinet, yang di dalamnya termasuk Jaksa Agung selaku anggota kabinet, berkedudukan setingkat menteri negara.


[1]   Diambil dari intisari duduk perkara Putusan MK Nomor 49/PUU-VIII/2010
[2] Lihat konsideran menimbang huruf a Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 yang merujuk Keppres Nomor187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu bahwa tugas Jaksa Agung Hendarman Supandji melanjutkan masa tugas Abdul Rahman Saleh dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
[3]  Ismail Suny. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. (Jakarta: Aksara Baru. 1986). Hal: 127.
[4] Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL. Keterangan Ahli dalam putusan MK Nomor Perkara 49/PUU-VIII/2010. Hal: 37.

[5]   Jimly Asshiddiqie. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta: Kelompok Gramedia. 2007). Hal: 582.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar